Judul : Apa yang Kita Panggil ‘Aku’
_Tentang identitas, tubuh, dan konstruksi diri
Kita menyebut diri "aku" dengan mudah. Tapi apa yang sebenarnya kita maksud ketika mengatakan: Aku yang berpikir. Aku yang merasakan..
Apakah itu suara di kepala? Apakah itu tubuh yang terlihat? Ataukah sekadar nama yang diberikan orang lain?
Ketika kita lahir, kita tak membawa "aku". Nama kita bukan pilihan kita. Bahasa yang kita pakai adalah warisan. Dan bahkan cermin pertama yang kita tatap, hanya memberi pantulan, bukan pengertian.
Apakah 'aku' adalah tubuh?
Tubuh bisa berubah. Luka bisa membentuknya. Waktu bisa meluruhkannya. Jika tubuh kita berbeda lima tahun dari sekarang, apakah kita tetap 'aku' yang sama?
Apakah 'aku' adalah pikiran?
Pikiran pun tidak konsisten. Kita bisa percaya sesuatu hari ini, lalu menyangkalnya esok hari. Kita bisa mencintai dengan sepenuh hati, lalu membenci dengan ketakutan yang sama besar. Jika isi kepala kita bisa berganti, apa yang bisa menjamin keutuhan 'aku'?
Lalu apa itu ‘aku’?
Mungkin ‘aku’ adalah konstruksi. Sesuatu yang kita bangun perlahan—dari pujian, dari trauma, dari ingatan orang lain terhadap kita. Kita adalah cerita yang dikisahkan tentang kita. Kita adalah hasil pertemuan antara apa yang kita alami, dan bagaimana orang menafsirkan pengalaman itu.
Di era ini, ‘aku’ bisa dijahit dari potongan-potongan: bio Instagram, foto yang dipilih, suara yang diposting, dan kata-kata yang diedit berkali-kali. Tapi apakah itu ‘aku’? Atau hanya proyeksi yang ingin disukai?
Lalu datang pertanyaan yang lebih mengganggu:
Bisakah kita hidup tanpa ‘aku’?
Tanpa keinginan untuk diakui. Tanpa ambisi menjadi sesuatu. Tanpa rasa perlu membentuk citra.
Mungkin bisa. Tapi dalam dunia yang dibangun dari pengakuan dan penglihatan, ketidakhadiran ‘aku’ bisa dianggap kegilaan. Dunia butuh peran, nama, dan wajah. Dunia butuh label.
Maka kita pun menyebut diri “aku” meski belum tahu pasti siapa itu.
Dan mungkin itu cukup.
Mungkin ‘aku’ bukan satu titik tetap, tapi garis yang terus bergerak.
Bukan batu, tapi arus.
Bukan inti, tapi perjalanan.
0 Komentar
Silahlan tulis komentar anda