Ticker posts

Loading...

Header Widget

Sawah Responsive Advertisement

Refleksi Perjalanan 19 Tahun DAP, Ini Kesepakatan Bersama 7 Wilayah Adat Papua

Dominikus Sorabut, Ketua Umum Dewan Adat Papua

Mediafajartimur.com, Manokwari
– Merefleksi kembali perjalanan 19 tahun Dewan Adat Papua (DAP), sejak Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) pada bulan februari tahun 2002 maka, Dewan Adat Papua dari 7 wilayah adat bersepakat menyikapi keprihatinan masyarakat adat papua terhadap beberapa hal yang akhir-akhir ini terjadi ditanah papua.

Berikut beberapa hal yang disepakati Melalui pleno Dewan Adat Papua 7 wilayah adat di tanah papua (Tabi/Mamta, Saireri, Doberai, Bomberai, Anim-Ha, Lapago Dan Meepago) yang diselenggarakan di rumah adat Motmoswa/Rumah Kaki Seribu yang  beralamat di Sanggeng Manokwari Papua Barat tanggal 10 oktober 2021, antara lain :

A. TENTANG SITUASI HAK ASASI MANUSIA MASYARAKAT ADAT PAPUA 

Kami para pemimpin Masyarakat Adat Papua memandang situasi hak asasi manusia Papua akhir-akhir ini berada pada kondisi yang semakin memprihatinkan.

a. Kekerasan di Tanah Papua dari tahun 2018 masih berlangsung sampai sekarang; terjadi berbagai kasus pembunuhan, pemenjaraan, penghilangan paksa oleh aparat negara di luar hukum, keadilan dan kemanusiaan tanpa ada penyelesaian yang adil dan bermartabat. Masyarakat Adat di daerah konflik terpaksa harus mengungsi ke tempat yang aman. Sebagian bahkan bersembunyi di hutan, akibat operasi militer Indonesia yang masif. Tingkat kekerasan konflik fisik dan mental (trauma) terus meningkat.

Hubungan harmonis masyarakat adat dengan leluhur, alam semesta dan sesama hilang diganti darah dan air mata yang tidak berakhir. Kami para pemimpin memandang situasi Masyarakat Adat Papua berada dalam proses genocide serius dilakukan negara secara sistematis lebih berbahaya dari Covid 19. Rentetan kasus kekerasan bersenjata terus terjadi di beberapa daerah sebagai berikut:

1. Konflik bersenjata di Kabupaten Nduga, mengakibatkan sekitar 163 orang tewas sejak 2018 dan ribuan rakyat telah mengungsi ke kabupaten tetangga. Hingga kini para pengungsi belum kembali ke kampung halaman mereka.

2. Konflik bersenjata di Kabupaten Mimika sejak tahun 1970-an sampai sekarang belum terhenti dan masih terus terjadi karena Timika dijadikan lahan subur untuk konflik ekonomi politik.

3. Konflik bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Puncak Papua.

4. Konflik bersenjata di Kabuaten Intan Jaya sejak 2019, memakan korban masyarakat sipil tewas dan sekitar 600 warga mengungsi. Kekerasan di Intan Jaya ini berpotensi meluas di masa mendatang, berkaitan dengan reposisi tambang emas besar di Blok Wabu.

5. Konflik bersenjata di Kabupaten Maybrat, setelah pos Koramil Kisor, Distrik Aifat Selatan diserang pada 2 September 2021, yang mengakibatkan sekitar 2.086 warga harus mengungsi. 

6. Konflik berenjata di Pegunungan Bintang, sejak 13 September 2021 di mana pembakaran dan penembakan terjadi di Distrik Kiwirok, Distrik Okika, Distrik Oklip dan Distrik Okiyop, mengakibatkan masyarakat adat mengungsi besar-besaran. Sebagian menyelamatkan diri ke Tabubil, Papua New Guinea (PNG). Operasi militer di sana sedang berlangsung; penembakan menggunakan mortir oleh militer Indonesia dilakukan di beberapa tempat yang dianggap sebagai tempat persembunyian pihak TPNPB. Situasi semakin mencekam dan kekerasan akan meluas.

7. Konflik horisontal yang terjadi di seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Papua dan Papua Barat. Konflik horisontal ini, berupa perang suku, pertikaian sengketa tanah, bentrokan akibat pilkada, minum keras, pengangguran dan lain sebagainya. Konflik horisontal ini ada yang didesain agar orang Papua di arahkan pada konflik sehingga muncul sentimen primordialisme yang tinggi untuk terus diadu domba.

b. Tanah, laut, udara, tempat sakral dan nilai-nilai kearifan (bahasa, tata ruang adat) kami terus dihancurkan. Penebangan hutan oleh negara secara besar-besaran untuk perkebunan, hasil-hasil tambang kami dirampas oleh negara dan swasta. Pengambilalihan tanah secara paksa, pembalakan liar dan pengrusakan ekosistem serta angka kriminalitas semakin tinggi. Dominasi sentra produksi dan pasar oleh kaum kapital dan migran. Seperti PT. Freeport Indonesia, tambang emas block Wabu Intan Jaya, MIFE di Merauke, Kelapa Sawit di Sorong dan lain-lain.

c. Pemerintah Indonesia secara sepihak telah menyetujui dan mengesahkan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II, tanpa melibatkan masyarakat adat Papua. Otsus adalah solusi tengah sebagai jembatan penyelesaian akar konflik politik Papua. Dalam perjalanannya, implementasi Otsus Jilid I gagal sebagai afirmasi action (keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan) terhadap masyarakat adat Papua.

Pengesahaan Otsus Jilid II, tanpa evaluasi dan konsultasi publik melalui rapat dengar pendapat (RDP) diamanatkan UU Otsus itu sendiri dan pelanggaran terhadap hal ini merupakan skenario Jakarta. Hal itu dibuktikan dengan penggagalan RDP secara sengaja oleh aparat negara dan ormas di Merauke dan Wamena. Dengan itu, para pemimpin masyarakat adat Papua memandang bahwa Otsus telah gagal dan karenanya kami menolak lanjutan Otsus Jilid II.

Sebab, Otsus Jilid II ini dipaksakan untuk melegitimasi investasi besar-besaran, pembentukan Daerah Otonom baru, dan berbagai program pembangunan yang menghancurkan otoritas dan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.

d. Rasisme terhadap masyarakat adat Papua juga tumbuh subur menjadi trend dari Indonesia. Sejak 16 Agustus 2020, sebanyak 43 Mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, dikepung, dipersekusi, diumpat dengan ucapan-ucapan rasis, bahkan diancam oleh aparat TNI, kepolisian, Satpol PP dan ormas reaksioner. Hal itu memicu pecahnya unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang berujung pada pembakaran fasilitas publik, rumah warga dan kekerasan fisik tak terhindarkan. Rasisme secara individu juga sangat sering terjadi melalui ucapan, tulisan maupun tindakan, terhadap tokoh dan aktivis Papua seperti Natalius Pigai atau anggota club sepak bola dari Papua.

Masyarakat adat Papua menyadari bahwa ucapan rasisme bukan hal baru. Papua sudah mengalami rasisme sejak awal aneksasi Tanah Papua melalui perkataan Ali Murtopo di Kampung Harapan, Jayapura, tahun 1970. Semangat ucapan rasis itu terus tumbuh dan dipelihara dalam semangat bangsa Indonesia mempertahankan Tanah Papua sampai sekarang.

Ditingkat internasional, masyarakat adat Papua juga mengalami rasisme. Rome Agreement adalah kesepakatan tripartit bangsa-bangsa lain tahun 1965 untuk menentukan nasib Tanah dan Masyarakat Adat Papua tanpa melibatkan orang Papua sendiri. Perjanjian itu berisi “kesimpulan akhir’ dari referendum dilaksanakan oleh PBB 4 tahun kemudian dan menjadi pangkal program transmigrasi dari Indonesia ke Papua tahun 1977 dan berbagai permasalahan Papua hari ini.

Tidak ada satu pihakpun dari ketiga pembuat perjanjian yang merasa perlu melakukan sesuatu untuk menyelamatkan orang Papua sebagai korban akibat perjanjian itu.

Rapat Pleno XII DAP 7 wilayah adat setanah Papua, Sanggeng Manokwari 10 Oktober 2021.

B. PERNYATAAN PARA PEMIMPIN DEWAN ADAT PAPUA (DAP) KEPADA PEMERINTAH INDONESIA, NEGARA-NEGARA ANGGOTA PBB, AKTIVIS DAN DUNIA USAHA.

Pleno ke XII tahun 2021 Dewan Adat Papua MENYERUKAN :

1. Masyarakat Adat Papua merasa duka yang mendalam dan prihatin atas ancaman kekerasan dan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Dan karena itu kami mengutuk keras lembaga atau individu yang suka mengisap darah masyarakat adat Papua melalui pembunuhan dan penembakan, misalnya kasus penembakan di Deiyai, penembakan di Timika, penembakan di Puncak Jaya, penembakan di Nduga, penembakan di Maybrat, penembakan di Pegunungan Bintang dan didaerah lain. Masyarakat adat Papua membutuhkan solusi kemanusiaan berdasarkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.

2. Kami pemimpin masyarakat adat Papua menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Perdana Menteri Papua New Guinea (PNG) dan Perdana Menteri Vanuatu dan para pemimpin negara-negara ACP, PIF dan MSG yang terus memberikan perhatian serius kepada masyarakat adat Papua dalam sidang Umum PBB ke 76 di New York.

3. Bahwa kami menolak Otsus Jilid II karena telah gagal, sehingga pemerintah Jakarta, para donatur, pihak negara asing bersama rakyat Papua untuk melakukan dialog melalui mekanisme Internasional demi menentukan hak hidup masyarakaat adat Papua di masa mendatang.

4. Bahwa kami para pemimpin masyarakat adat Papua mendukung dan mendorong upaya-upaya Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempromosikan wilayah Adat Papua sebagai wilayah yang dilindungi sebagai solusi mengatasi ancaman pemanasan global.

5. Menyerukan kepada Masyarakat Adat Papua, Pemerintah Indonesia dan pihak internasional untuk mendukung Program perlindungan tanah, hutan, air dan lingkungan alam untuk Bumi yang lebih baik bagi kehidupan Masyarakat Adat yang terarah dan terukur. Menghentikan pengrusakan lingkungan, hutan dan lain-lain yang berdampak pada rusaknya ekologi masyarakat adat Papua.

6. Menyerukan intervensi lembaga-lembaga internasional ke Papua atas situasi kemanusiaan yang memburuk dan mengorbankan nyawa masyarakat adat Papua.

7. PT. Freeport McMorran / PT. Freeport Indonesia merupakan bagian dari konspirasi awal terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia di tanah Papua, dan hingga kini PT. Freeport McMoran tidak memberikan kepastian jaminan hidup bagi rakyat Papua Barat sebagai pemilik tanah hak ulayat. Masyarakat adat Papua juga tidak pernah diperhitungkan dalam kepemilikan saham maupun sistem bagi hasil dari penambangan emas. Maka kami pemilik hak ulayat menyerukan penutupan operasi penambangan PT. Freeport sebagai solusi penegakan hak asasi manusia Papua. 

8. Masyarakat Adat Papua menghargai dan terbuka untuk bekerja sama dengan pihak luar dalam rangka menciptakan Papua sebagai wilayah yang bebas dari Kekerasan, Penindasan dan Keserakahan. 

9. Menyerukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan pihak Swasta agar menghentikan semua eksploitasi, divestasi dan investasi diatas wilayah adat Papua yang cenderung destruktif terhadap sumber daya alam dan manusia Papua. 

10. Menyeruhkan kepada pimpinan dan masyarakat adat Papua, untuk tidak jual belikan tanah. Tanah adat adalah mama dan menjual tanah sama dengan menjual harga diri dan lambang kebesarannya kepada orang lain. 

11. Mendorong masyarakat adat Papua untuk terus menjaga kedamaian antara sesama masyarakat adat Papua menuju rumah adat Melanesia.


C. TENTANG KONSOLIDASI, REKONSILIASI DAN REVITALISASI DEWAN ADAT PAPUA (DAP)

Pleno ke XII tahun 2021 ini setelah merefleksikan perjalanan Dewan Adat Papua yang akhir-akhir ini telah melenceng dari Roh Dewan Adat Papua itu sendiri dan cenderung dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan praktis dan tidak memperjuangkan nasib masyarakat adat Papua; untuk itu pimpinan Dewan Adat menyatakan:

1. Menolak kegiatan KBMAP IV yang dilaksanakan di Kaimana karena tidak sesuai dengan Statuta dan Pedoman Dasar serta saran rekonsiliasi oleh Masyarakat Adat Papua. Kita butuh persatuan yang kokoh dan kuat dalam forum yang legal dan kredibel tanpa dipaksakan oleh pihak manapun terhadap otoritas dan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.

2. Mendorong pelaksanaan KBMAP IV pada tahun 2022, dengan menentukan tempat pelaksanaan, membentuk panitia dan jadwal pelaksanaan.

3. Mendorong rekonsiliasi antara pimpinan Masyarakat Adat Papua, Pimpinan 7 Wilayah, pimpinan Dewan Adat Daerah, Dewan Adat Suku, kepala suku, masyarakat adat dan lembaga-lembaga yang ada dibawah Dewan Adat Papua serta para mitra Dewan Adat Papua.

4. Mendorong konsolidasi dan penataan kelembagaan Dewan Adat Suku (DAS), Dewan Adat Daerah (DAD) dan Dewan Adat Wilayah (DAW) diseluruh 7 (tujuh) wilayah Adat Papua menuju KBMAP tahun 2022.

Demikian Hasil Pleno XII Dewan Adat Papua ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab oleh semua pihak. Terima kasih. 

Manokwari, 10 Oktober 2021 


DEWAN ADAT PAPUA


DOMINIKUS SORABUT

KETUA UMUM


WILLEM RUMASEB

SEKRETARIS UMUM


(RED.MFT/JD)


Posting Komentar

0 Komentar